Oleh Jusuf AN*)
(tulisan ini adalah karyaku yang pertama kali dimuat di koran, yaitu di Jawa Pos, kolom Prokont Aktivis), sekitar pertengahan 2005, pada waktu itu aku masih semester V.)
Pada masa orde baru (Orba), perbedaan dianggap memiliki potensi berbahaya yang akan menyebabkan kesatuan bangsa menjadi chaos. Realitas masyarakat dengan keragamannya direpresi dan didekontruksi sesuai dengan arah kebijakan Orba. Salah satunya dengan menyeragamkan dan menihilkan entitas budaya lokal yang akhirnya menjadi tabir terciptanya dialog antar kultur dari mayarakat adat yang berbeda.
Pasca pemerintah Orba, kita banyak meyaksikan tragedi kemanusiaan yang demikian memilukan. Konflik berbau suku, agama, ras dan antargolongan, seperti yang terjadi di Aceh, Ambon, Papua, Kupang, Dayak, dan beberapa daerah lainnya adalah relitas empirik yang mengancam integrasi bangsa di satu sisi, namun membutuhkan solusi konkret dalam penyelesaiannya di sisi lain. Salah satunya adalah dengan membangun kembali pondasi keanekaragaman masyarakat dengan cara pendidikan multikulturalisme.
Pendidikan monokutur dengan mengabaikan pluralitas seperti yang selama ini dijalankan, disadari atau tidak telah memasung pertumbuhan pribadi yang kritis dan kreatif.
Ide multikulturalisme menurut Taylor (Savirani,2003:385) adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan (2002:98) menjelaskan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Secara mudah dapat dikatakan, multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan. Meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan, namun tidak ada masyarakat kelas, karena multikultularisme mengakui adanya politik universalisme yang menekankan persamaan hak, kewajiban, dan harga diri.
Pendidikan multikulturalisme adalah upaya penyadaran kultural kepada setiap individu, yang didasarkan pada kultur masyarakat masing-masing. Karena setiap masyarakat dipastikan mempunyai kerangka nilai, norma, aturan, budaya yang berbeda, sehingga sewaktu-waktu akan menyebabkan pertentangan dan persinggungan kepentingan, baik budaya, politik, ekonomi, maupun sosial. Perbedaan kepentingan inilah yang apabila tidak dimaknai secara bijak akan memicu konflik.
Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi sosial yang ada dalam berbagai kegiatan kehidupan masyarakat, yang tercangkup dalam kehidupan sosial, pilitik, ekonomi, dan kekegiatan lain yang bersinggungan dengan masyarakat, termasuk agama. Di samping itu, multikulturalisme mau tidak mau harus menjelaskan berbagai permasalahan mengenai politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum (law enforcement), HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, serta prinsip-prinsip etika moral, dan beragama.
Yang diajarkan dalam pendidikan multikulturalisme bukan semangat ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial akan melahirkan persatuan kuat, tetapi lebih menekankan pada pengakuan adanya pluralitas (bhinneka) budaya bangsa yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang demokratis.
Mengembalikan Budaya Luhur Nenek Moyang
Mustofa W. Hasyim pernah menuliskan bahwa dalam masyarakat Jawa lama ada semacam garis imajiner bernama garis tepa slira yang dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan tenggang rasa. Garis ini berfungsi sebagai instrumen pencegah tindakan kesewenang-wenangan yang hanya akan memicu konflik. Adanya konsep tepo slira ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebenarnya keinginan masyarakat untuk hidup rukun dan damai dalam perbedaan sudah tercipta sejak dulu kala.
Konsep moral tepa slira bukan hanya mampu menjaga keharmonisan masyarakat kita, tetapi juga menjaga pergaulan rumah tangga, pergaulan politik, pergaulan ekonomi, agama, dan budaya itu sendiri.
(tulisan ini adalah karyaku yang pertama kali dimuat di koran, yaitu di Jawa Pos, kolom Prokont Aktivis), sekitar pertengahan 2005, pada waktu itu aku masih semester V.)
Pada masa orde baru (Orba), perbedaan dianggap memiliki potensi berbahaya yang akan menyebabkan kesatuan bangsa menjadi chaos. Realitas masyarakat dengan keragamannya direpresi dan didekontruksi sesuai dengan arah kebijakan Orba. Salah satunya dengan menyeragamkan dan menihilkan entitas budaya lokal yang akhirnya menjadi tabir terciptanya dialog antar kultur dari mayarakat adat yang berbeda.
Pasca pemerintah Orba, kita banyak meyaksikan tragedi kemanusiaan yang demikian memilukan. Konflik berbau suku, agama, ras dan antargolongan, seperti yang terjadi di Aceh, Ambon, Papua, Kupang, Dayak, dan beberapa daerah lainnya adalah relitas empirik yang mengancam integrasi bangsa di satu sisi, namun membutuhkan solusi konkret dalam penyelesaiannya di sisi lain. Salah satunya adalah dengan membangun kembali pondasi keanekaragaman masyarakat dengan cara pendidikan multikulturalisme.
Pendidikan monokutur dengan mengabaikan pluralitas seperti yang selama ini dijalankan, disadari atau tidak telah memasung pertumbuhan pribadi yang kritis dan kreatif.
Ide multikulturalisme menurut Taylor (Savirani,2003:385) adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan keberagaman itu sendiri (politics of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran, masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan (2002:98) menjelaskan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Secara mudah dapat dikatakan, multikulturalisme merupakan suatu konsep yang ingin membawa masyarakat dalam kerukunan dan perdamaian, tanpa ada konflik dan kekerasan. Meski di dalamnya ada kompleksitas perbedaan, namun tidak ada masyarakat kelas, karena multikultularisme mengakui adanya politik universalisme yang menekankan persamaan hak, kewajiban, dan harga diri.
Pendidikan multikulturalisme adalah upaya penyadaran kultural kepada setiap individu, yang didasarkan pada kultur masyarakat masing-masing. Karena setiap masyarakat dipastikan mempunyai kerangka nilai, norma, aturan, budaya yang berbeda, sehingga sewaktu-waktu akan menyebabkan pertentangan dan persinggungan kepentingan, baik budaya, politik, ekonomi, maupun sosial. Perbedaan kepentingan inilah yang apabila tidak dimaknai secara bijak akan memicu konflik.
Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi sosial yang ada dalam berbagai kegiatan kehidupan masyarakat, yang tercangkup dalam kehidupan sosial, pilitik, ekonomi, dan kekegiatan lain yang bersinggungan dengan masyarakat, termasuk agama. Di samping itu, multikulturalisme mau tidak mau harus menjelaskan berbagai permasalahan mengenai politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum (law enforcement), HAM, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, serta prinsip-prinsip etika moral, dan beragama.
Yang diajarkan dalam pendidikan multikulturalisme bukan semangat ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial akan melahirkan persatuan kuat, tetapi lebih menekankan pada pengakuan adanya pluralitas (bhinneka) budaya bangsa yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang demokratis.
Mengembalikan Budaya Luhur Nenek Moyang
Mustofa W. Hasyim pernah menuliskan bahwa dalam masyarakat Jawa lama ada semacam garis imajiner bernama garis tepa slira yang dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan tenggang rasa. Garis ini berfungsi sebagai instrumen pencegah tindakan kesewenang-wenangan yang hanya akan memicu konflik. Adanya konsep tepo slira ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebenarnya keinginan masyarakat untuk hidup rukun dan damai dalam perbedaan sudah tercipta sejak dulu kala.
Konsep moral tepa slira bukan hanya mampu menjaga keharmonisan masyarakat kita, tetapi juga menjaga pergaulan rumah tangga, pergaulan politik, pergaulan ekonomi, agama, dan budaya itu sendiri.