Ayo, Produksi Film Dokumenter!


Oleh Jusuf AN*)

“Ayo, produksi film dokumenter.” Itulah ajakan yang mengemuka dari acara Bengkel Seni Film Dokumenter se-Jawa Tengah yang digelar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Tengah yang sudah berlangsung sejak Senin (21/2) hingga Rabu (23/2) di Balai Latihan Kerja Wonosobo. Acara yang diikuti sekitar 70 peserta dari 11 kabupaten dan kota di Jawa Tengah itu sangat tepat (atau hanya kebetulan saja?) dihadirkan di tengah hangatnya isu penarikan film import dari dalam negeri.

Selama ini masyarakat kita cenderung memandang sebelah mata hasil kreativitas anak negeri, lebih senang menonton dan mengunggul-unggulkan film-film import baik yang fiksi maupun non-fiksi (dokumenter).
Memang, dunia perfilman kita akhir-akhir ini terlihat meresahkan—jika tidak rela dikatakan payah. Jika bukan cerita hantu, maka yang muncul film adalah adegan syur syur, atau cerita percintaan anak muda yang lugu dan biasa. Ketika sebuah film sukses di pasaran maka berpuluh-puluh film yang serupa membuntut di belakangnya, tanpa pernah merasa malu menjadi epigon.

Namun demikian, sebenarnya ada beberapa film dalam negeri yang berkualitas, meski secara kuantitas sangat sedikit. Nah, yang sedikit itu pun bisa jadi sewaktu-waktu akan lenyap karena godaan arus komersialisasi yang begitu kuat. Untuk itu kita membutuhkan semacam gerakan dari para film maker atau instansi yang terkait untuk lebih serius menangani dunianya. Salah satunya adalah dengan mengajak masyarakat untuk berkreasi menciptakan film sendiri. Itulah yang saya tangkap selama mengikuti Bengkel Seni Film Dokumenter yang diselenggarakan Disbudpar Jawa Tengah belum lama ini.

Gairah dan Tantangan Film Dokumenter

Dalam sebuah buku Mengenal Film Dokumenter yang ditulis oleh Dr. Agus Maladi Irianto, M.A, dkk, dipaparkan bahwa pada dasarnya, film dokumenter adalah representasi dari kenyataan, menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan. Jika demikian, maka dengan peralatan yang seadanya, kamera handphone misalkan, seseorang sudah bisa menciptakan sendiri sebuah film dokumenter tentang apa saja yang terjadi di sekelilingnya.

Hanya saja, untuk melahirkan film dokumenter yang berkualitas kita mesti mengatur materi-materi yang akan disajikan, menentukan sudut pandang, ukuran shot, pencahayaan dan lain sebagianya. Lebih jauh lagi, film dokumenter yang kreatif tak jauh beda dengan film fiksi, dibangun dan bisa dilihat bukan sebagai suatu rekaman realitas, tetapi sebagai jenis representasi lain dari realitas itu sendiri.

Film dokumenter sendiri sebenarnya bukan sesuatu yang sama sekali baru. Kita ingat, Orde Baru pernah melahirkan film sebagai alat propaganda politik. Sebut saja film Serangan Fajar dan Pengkhianatan G 30/S PKI yang semula berjudul Sejarah Orde Baru. Kedua film tersebut, yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai docudrama karena dibuat dengan perencanaan dan tujuan-tujuan tertentu yang detail, sempat membuat film dokumenter lesu sampai beberapa tahun.

Kini, pasca Orde Baru tumbang, film dokumenter kembali menggeliat. Berbagai ajang perlombaan dan festifal film dokumenter baik lokal dan nasional digelar. Dari sanalah muncul beragam karya kreatif yang bisa dijadikan alat untuk memperbaiki citra perfilman di Indonesia. Film dokumenter juga bisa menjadi alat yang ampuh dalam rangka melancarkan kritik atas fenomena-fenomena yang terjadi di sekeliling kita. Dan bagi Guru, film dokumenter bisa dijadikan sebagai sebuah media pembelajaran yang tidak membosankan.


*) Jusuf AN,
Peserta Bengkel Seni Film Dokumenter 2011
Disbudpar Jawa Tengah wakil dari Wonosobo

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »