Ibu Bangsa dan Ibu Rumah Tangga

Oleh M. Yusuf Amin Nugroho

Hari ini, Sabtu, 22 Desember menjadi satu momentum penting bagi bangsa Indonesia, yakni biasa kita peringati sebagai Hari Ibu. Hari Ibu memang masih patut dipertahankan sebagai salah satu hari penting di Indonesia, hanya cara perayaannya patut diluruskan.
Tujuan diperingatinya Hari Ibu sama sekali bukan untuk memanjakan sosok ibu selama sehari penuh pada tanggal 22 Desember itu sebagaimana peringatan Mother’s Day di Amerika yang dirayakan tiap bulan bulan Mei di mana  para ibu akan menerima telepon dan hadiah dari anak-anaknya. Cara peringatan Hari Ibu seperti itu adalah salah kaprah, dan ahistoris.
Sejarah ditetapkannya Hari Ibu sebagai hari penting nasional berawal dari Kongres Perempoean Indonesia I yang diprakarsai oleh para perempuan pejuang pergerakan kemerdekaan yang diadakan tanggal 22-25 Desember 1928 bertempat di Yogyakarta. Salah satu keputusannya yakni, dibentuknya satu organisasi federasi yang mandiri dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempoean Indonesia (PPPI). Kemudian pada tahun 1935 diadakan Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta, yang di samping berhasil membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia juga menetapkan fungsi utama perempuan Indonesia, yaitu sebagai ”Ibu Bangsa”, memiliki tanggung jawab untuk menumbuhkan dan mendidik generasi baru agar lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya. Lalu dalam Kongres Perempoean Indonesia III tahun 1938 di Bandung ditetapkanlah 22 Desember sebagai Hari Ibu yang selanjutnya ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 sebagai Hari-hari Nasional yang bukan Hari Libur. Pendeknya, peristiwa besar yang terjadi pada tanggal 22 Desember 1928 (Kongres Perempoean I) dijadikan tonggak sejarah bagi Kesatuan Pergerakan Perempuan Indonesia.
Jadi, jelaslah bahwa kebiasaan memberi kado, bunga, atau bahkan melarang ibu bekerja sehari penuh tiap tanggal 22 Desember adalah perayaan Hari Ibu yang tidak nyambung. Cara perayaan seperti itu juga tidak membawa manfaat bagi kepentingan anak bangsa. Hari ibu mestinya kita peringati bersama dengan cara merenung dan menyusun rencana kerja untuk kemudian mengangkat derajat kaum ibu.
Pergeseran Peran
Kita maklumi bersama bahwa peran ibu yang paling besar adalah sebagai pilar bangunan rumah tangga. Namun, peran tersebut mengalami pergeseran sejak isu gerakan kesetaraan gender (feminisme) merebak. Ruh gerakan feminisme sendiri adalah adanya suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja maupun dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.
 Sejak gerakan feminisme meletus pada abad ke- 19 beberapa tahun setalah terjadi revolusi industri di Eropa dan Amerika, peran ibu yang tadinya hanya berkecimpung di wilayah domestik mulai naik ke wilayah publik. Fenomena tersebut merupakan tanda penting dari perkembangan realitas sosial, ekonomi, dan politik perempuan. Salah satu akibatnya: kian berkurang perempuan yang berminat menduduki posisi sebagai seorang “ibu rumah tangga”. Kini, kaum ibu lebih bangga memilih terjun dalam hiruk pikuk dunia kerja, ketimbang memasak, mencuci, mengasuh anak, dan seabrek pekerjaan rumah tangga lainnya.   
Apakah memang keadaan seperti itu yang menjadi cita-cita gerakan feminisme? Lalu, apakah berprofesi ‘hanya’ sebagai seorang ibu rumah tangga merupakan suatu dosa?
Mansyur Fakih dalam bukunya Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (1996) menuturkan, bagi penganut Feminisme Marxist, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitasi yang bersifat struktural. Dengan begitu penyesuaianya pun harus bersifat struktural, dengan apa yang mereka sebut proses revolusi. Setelah revolusi, perubahan struktur kelas yang ada, garansi persamaan bagi laki-laki dan perempuan belum memadai karena perempuan (ibu) tetap dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Yang artinya, jika mengurus rumah dan mendidik anak tidak ditransformasikan menjadi urusan umum, maka kaum ibu tidak akan mencapai kedudukan yang sejati. Sebab emansipasi perempuan hanya akan terjadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga.
Ada satu asumsi bahwa yang menjadi penyebab profesi ibu rumah tangga kian tenggelam adalah karena pengaruh media. Media cenderung menyoroti ibu yang punya ‘sambilan’ lain dan ia sukses di sambilannya itu. Bukan sudut keibuannya yang disorot. Artinya, media lebih banyak menyorot sisi di luar ‘peran keibuannya’. Media kerap terlihat menggiring masyarakat untuk membenarkan, bahwa seorang ibu harus berkarir, harus punya banyak uang agar bisa lebih banyak berbuat.
Ada benarnya Teori Marxist klasik yang menginginkan perubahan status perempuan dari domestik ke publik. Makin tidak diminatinya posisi ibu rumah tangga seakan tidak terelakkan dan tidak dapat dibendung lagi. Jika kenyataan yang terjadi sudah sedemikian rupa, bagaimana kita, khususnya kaum ibu menyikapinya?
Memang sudah menjadi hak dasar bagi kaum ibu untuk terjun ke wilayah publik sehingga dominasi patrialkarl dapat terhapuskan. Tetapi hak kaum ibu tersebut baru bisa dijalankan setelah kewajiban-kewajiban terlebih dulu dijalankan. Dengan tidak melupakan kewajiban maka pergeseran peran kaum ibu dari wilayah domestik ke publik tidak akan berakibat buruk dan mengorbankan pihak lain. Menunut hak tanpa peduli pada kewajiban adalah anarkis.
Sebenarnya, kalau pun seorang ibu tetap memilih wilayah domestik, mengurus rumah tangga dan tetek bengeknya banyak sisi positif yang bisa dinikmati. Seorang ibu yang berprofesi ‘hanya’ sebagai ibu rumah tangga lebih banyak memiliki waktu untuk mendidik mendidik anak-anaknya. Tugasnya sebagai “Ibu Bangsa” guna menciptakan generasi yang mandiri dan memiliki mental baja tentunya menjadi lebih fokus.
Selain itu, sebenarnya seorang ibu (istri) juga punya peran penting terhadap suaminya. Apa yang dicapai beberapa tokoh dunia dalam mengusung perubahan tidak terlepas dari pengaruh seorang perempuan yang berada di sekitarnya. Maria Theresa, istri Joques Risseau memang tidak terjun langsung dalam revolusi Prancis, tetapi ia menyumbang kekuatan besar pada suaminya berupa limpahan kasih sayang dan dukungan. Juga Inggit Garnasih, istri Sukarno, yang memberikan pengorbanan dan kesetiaan luar biasa berarti bagi perjuangan Soekarno. Jadi benar, pepatah Arab yang mengatakan, “Di balik pahlawan besar selalu ada seorang perempuan yang agung.”
Gandhi, seorang pria yang bisa membangkitkan pengabdian dengan segenap ketulusan hati bagi kaum perempuan hingga mendapat julugan Bapak Anti Kekerasan (ahimsa), dalam karya-karyanya menyerukan kepada kaum perempuan akan kewajibannya-melahirkan dan mengabdi-bagi kemajuan kaum perempuan sendiri, bangsa, dan kemanusiaan secara luas. Semangat inilah yang harus ada bagi setiap ibu. Selamat Hari Ibu!

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »